Archive for the ‘My words’ Category

Menunggu Layang-Layang

Iseng2 aku ikutan L’oreal Paris-Writing Competition, tugasnya sih ngelanjutin cerita Menunggu Layang-Layang nya Dee, eh.. gak tau nya menang (2nd winner) hihiii..thanx L’oreal buat hadiahnya:D

So..teman-teman jika ada perbedaan ending cerita pada menunggu layang-layang ini dengan cerita asli nya Dee, wajar aja karena ini adalah versi lomba, dan masih ada 2 versi ending berbeda karena waktu itu ada 3 orang pemenang.

So..selamat menikmati Dee Lestari Feat. Celotehque ^^

 

Sebagaimana hari kemarin, dan kemarinnya lagi, dan semua kemarin yang telah lewat, pukul 5.45 wekerku berdering. “Kring” bukan “bip-bip”. Bagiku, suara weker klasik yang bising punya daya tembus lebih ke alam bawah sadar. Bukan pukul 5.30 atau 6.00, tapi enam-kurang-lima-belas-pas. Saat itu matahari benar-benar misterius. Pagi yang menyisakan sejumput malam sekaligus menjanjikan siang.

IPod-ku menyala, melantunkan daftar lagu yang kuberi judul: “Bangun Pagi Ku Terus Mandi”. Melalui serangkaian uji coba bertahun-tahun, berhasil kusimpulkan dua puluh satu lagu yang paling pas didengar saat matahari sedang misterius-misteriusnya.

Tapi sebetulnya aku tidak langsung mandi. Yang pertama kulakukan ialah menenggak segelas air putih di sebelah tempat tidur, lalu menyiapkan secangkir kopi “1,2,3” yaitu satu sendok kopi, dua sendok gula, tiga sendok krimer. Cadangan energi sampai makan siang kudapat dari empat helai roti tawar kupas berbentuk bujur sangkar, sepasang pertama kuselipkan selembar keju, pasangan kedua kutamploki telur mata sapi mulus yang dimasak di microwave selama satu setengah menit.

Selesai sarapan, aku mandi di bawah pancuran dengan keran air dingin terputar persis 80 derajat, sementara keran air panasnya 45 derajat. Ada potongan selotip merah sebagai penanda. Hasil uji coba panjang dengan beragam temperatur air dan posisi keran.

Selesai mandi, aku bersiap-siap mengenakan baju kantor dan semua perlengkapannya. Melaju di jalanan diiringi kompilasi lagu yang kuberi judul: “Naik, Naik, ke Puncak Gunung”, walaupun kantorku bukan di gunung. Lagu-lagu pembangkit semangat agar aku bisa tiba di kantor dengan berseri-seri, tersenyum dan menyapa semua orang, dari satpam di gerbang depan sampai office boy yang datang ke ruanganku membawakan segelas besar air putih.

Berbarengan dengan itu, ponselku berbunyi.

“Hai.” Suara Starla yang khas menyapaku. Merdu tapi mengganggu. Enak didengar tapi selalu berbuntut kurang enak. Berdasarkan statistikku, dia hanya menelepon untuk minta tolong. Sedikit mengenai Starla: aku dan dia berkenalan ketika masih baru sama-sama berkarier. Aku seorang arsitek dan dia desainer interior, dan selama beberapa tahun kami bekerja di biro konsultan yang sama. Kini kami sudah berbeda kantor. Starla menjadi freelancer, aku dengan biro konsultanku sendiri. Tidak pernah aku merasa cocok dengan Starla. Anehnya, kami bersahabat baik. Sejak bertahun-tahun yang lalu.

“Aku udah lihat rumah sakitmu itu. Kamu banget. Kaku.” Demikian sapaan pertamanya. “Coba MRI, deh. Kayaknya otak kamu sekarang udah benar-benar persegi,” lanjutnya menggenapkan.

Aku tersenyum kecil. Bagiku itu sebuah pujian. Sudah menjadi keahlianku untuk mendesain bangunan masif seperti rumah sakit, gedung perkantoran, atau gedung pertokoan. Bertolak belakang dengan Starla, aku merasa sangat tertantang untuk mengerjakan desain-desain raksasa yang menurutnya sangat membosankan.

“Kamu juga MRI, deh. Otakmu sekarang pasti udah kayak lukisan abstrak. Tinggal dibingkai terus dipajang di ruang tamu rumah tropis modern rancanganmu itu.”

Starla terbahak. “Satu-satunya yang bikin kamu masih hidup itu ya selera humormu, tauk.”

Aku menghela napas. “Oh, Starla. Jangan sampai aku balik mencari alasan kenapa kamu masih hidup, ya. Karena itu cuma supir bajaj dan Tuhan yang tahu.”

Starla ngakak lagi.

Begitulah kami. Hubunganku dan Starla ibarat ritual minum jamu pahit yang ditutup dengan segelas mungil air gula. Ketidakcocokan yang justru berujung pada persahabatan karib. Saking tahu betapa ekstremnya perbedaan sifat dan selera masing-masing, kami tak mempermasalahkannya lagi, tinggal menertawakannya saja. Starla mengakui, aku adalah orang yang paling sering ia hubungi. Setidaknya sekali seminggu kami berbicara di telepon. Menghabiskan waktu dan pulsa untuk mendengarkan cerita-cerita Starla yang luar biasa, dan cerita-ceritaku yang begitu-begitu saja.

“Kompilasimu yang… hmm… apa judulnya, ya? Yang buat di pantai…”

Starla tidak pernah ingat. “Yang buat siang, sore, malam?” potongku.

“Malam.”

“Di Bawah Bulan Purnama.”

“Ya, itu. Minta tolong di-burn ke CD boleh, ya? Aku butuh buat weekend ini. Nanti aku ambil.”

“Oke. Bye…”

“Kenapa sih playlist-mu namanya aneh-aneh? Untung selera musikmu bagus.”

Aku melengos. “Tujuannya supaya gampang diingat. Tapi ternyata beberapa orang tertentu tetap aja nggak ingat-ingat. Bye, Starla…”

“Nanti makan siang bareng ya, Che.”

“Kapan sih kamu bakal berhenti manggil aku ‘Che’?”

“Nggak tahu, Che. Kayaknya nggak ada rencana berhenti, sih.”

Namaku Christian. Dan Starla hanya mau berhenti sampai huruf pertamanya saja.

***

Kuperhatikan pelayan restoran yang melayani meja kami. Memastikan bahwa ia benar-benar siap mencatat. Aku berdehem. “Satu dori steaklight oil, saus lemon-nya terpisah. Salad-nya jangan dikasih dressing. Baked potato, tanpa topping. Minumnya satu botol Perrier,still, suhu ruangan.”

Pelayan itu sibuk mencatat. Setelah itu ia beralih pada Starla.

“Saya minta es teh tawar, makannya…” sekilas Starla melirik menu Today’s Special yang diletakkan di meja, “ini, deh.”

Starla kemudian permisi cuci tangan. Begitu ia berdiri, mataku memandang berkeliling. Selalu sama. Setiap mata laki-laki terpusat padanya. Banyak perempuan cantik di kota, tapi rasanya tidak ada yang memiliki efek pengisap perhatian seperti Starla. Jangan bayangkan Starla itu berbusana serba mikro dengan tonjolan belahan di sana-sini. Dandanannya bukan pemompa testoteron. Jadi apa penyebabnya? Hipotesaku: karena Starla tak peduli. Ia melenggang seolah ia sendirian di muka Bumi. Ia tidak peduli kecantikannya, dan ketakpedulian itu seolah menjadi mesin pembangkit pesona. Barangkali.

Sekembalinya Starla ke meja, CD yang ia minta sudah kuletakkan manis di atas meja. Plus, sebuah pertanyaan klasik: “Jadi, siapa laki-laki sial itu?”

Starla tersenyum. “Dia kontraktor, lagi ada proyek hotel di daerah Carita. Aku ikut nemenin.”

“Lagu-lagu ini memang udah paling cocok didengar di teras villa, menghadap pantai, sekarang pas bulan purnama pula. Good timing,Starla. Hebat.”

Starla hanya mengangkat alis, lalu menyeruput tehnya.

“Kamu, kok, kayaknya nggak terlalu semangat.”

“Perasaanku nggak enak. Kayaknya dia bakal sama dengan yang lain-lain.”

“Nggak usah pergilah.”

“Udah kepalang janji.”

“Tenang aja. Kamu kan pasti udah punya SOP-nya.”

Starla menggeleng. “Biarpun endingnya sama, respons mereka beda-beda. Ada yang gentleman, ada yang tahu-tahu nangis semalam suntuk, ada yang ngambek terus banting-banting barang. Aku nggak pernah tahu pasti, Che. Nggak ada SOP untuk menghadapi yang beginian.”

“Dan kamu tetap aja nggak kapok-kapok.”

Posisi duduk Starla langsung menegak. “Hei. Kami dua orang dewasa yang bisa tanggung jawab atas keputusan masing-masing, oke? Apa salahnya saling suka, jatuh cinta, mencoba-coba? Semua yang di dunia ini juga dilewati pakai proses itu. Mau pilih mobil kek, mau pilih baju…”

“Kalau kita tahu pasti apa yang kita mau, ngapain buang energi coba-coba? Masalahnya, kamu nggak pernah tahu yang kamu mau.”

Starla kelihatan sudah ingin menyambar. Tapi ia tahan. Kami berdua tahu, pembahasan ini tidak akan ada ujungnya. Dan persahabatan ini lebih berharga dari sekadar mempertentangkan prinsip yang sudah jelas-jelas beda. Kami pun diam dan mulai makan.

“Kalau ada apa-apa, telepon ya.”

Starla mengangguk.

Kami tahu, tidak akan terjadi apa-apa. Apa pun badai yang dihadapinya, Starla selalu kembali dengan utuh tanpa goresan.

***

Malam minggu ini aku bertemu dengan Starla di bioskop. Tentu, aku bukan janjian nonton dengannya. Kebetulan saja ini bioskop favorit kami berdua, tempat yang menjadi saksi bisu kesendirianku serta kebersamaan Starla bersama aneka manusia berjenis kelamin pria dengan beragam bentuk dan profesi. Ia mengantre persis di belakangku, menggandeng seorang cowok ganteng dan serba rapi.

“Studio 1. Nomor…”

“A1!” celetuk Starla dari balik bahuku.

“Makasih,” gumamku masam. Dia hafal kebiasaanku nonton sendirian di pojok bioskop.

Mereka juga menonton film sama. Aku berkenalan dengan pria dandy itu, yang dari kartu namanya, aku tahu ia bekerja di sebuah perusahaan rekaman. Sembunyi-sembunyi, aku mengacungkan salam tiga jari alias salam metal pada Starla.

Mata Starla langsung melotot, kepalanya menggeleng.

“Ini bukan gitaris heavy metal itu? Pantesan kok rapi,” bisikku.

“Ini produsernya.” Starla balas berisik.

“Naik ranjang kamu? Nggak sopan,” aku terkekeh.

“Habis dia mulai aneh-aneh. Masa belum apa-apa itu cowok udah mau pindah ke apartemenku.”

“Langkah fatal,” aku manggut-manggut setuju. “Kalau yang ini gelagatnya gimana?”

“Sejauh ini oke. Kita lihat nanti.”

Dalam semesta seorang Starla, ‘nanti’ adalah rentang waktu yang pendek. Minggu depan, di tempat sama, aku berani taruhan sepuluh kilogram fillet ikan dori, bahwa dia akan menonton dengan jenis pria lain, dan masih kunantikan pemunculan atlet sepak takraw, ilusionis, atau pawang ular. Dalam semesta seorang Starla, itu hanya masalah waktu.

***

Rutinitasku terguncang. Guncangan yang menyenangkan. Sahabat lamaku, Rako, yang selama ini bersekolah di Inggris, tiba-tiba muncul di kantor.

Rako termasuk satu dari sedikit sahabatku di dunia ini. Kami berteman sejak kecil, masuk sekolah Katolik yang sama dari mulai TK sampai SMA. Selalu bersaing dalam pelajaran, tapi selalu kompak dalam segala perkara di luar itu. Terutama masalah cinta. Tepatnya, akulah penolong setianya. Lebih tepatnya lagi, aku tempat sampah segala curhatnya.

Sore itu, kami menyempatkan minum kopi, menyusun sekian banyak acara bersama demi mengulang masa remaja dengan aset orang dewasa. Segala keterbatasan anak SMA, dari mulai kocek sampai izin keluar malam, kini tak berlaku lagi. Kami bersemangat seperti dua anak yang baru boleh pinjam mobil bapak. Boy’s talk. Boy’s night out. Boys will be boys.

Namun tak sampai setengah jam, pertanyaan itu terlontar juga.

“Pacar lo siapa sekarang, Chris?”

Pertanyaan iblis. Iblis yang bersembunyi bagaikan selembar joker dalam tumpukan kartu. Satu-satunya kartu yang menyambutmu dengan tawa lebar, tak jelas itu ekspresi lucu atau melecehkan.

Aku menggeleng.

“Payah amat! Empat tahun gue pergi, kok lo nggak ada kemajuan juga?”

“Lo sendiri gimana?” Kutikung balik joker itu.

Mukanya langsung serius. Berlawanan denganku, itulah kartu favoritnya Rako. Pertanyaan yang paling ia tunggu.

“Gue mau cari cewek bule aja, Chris. Bertahun-tahun gaul sama cewek sini, jarang banget ada yang cocok. Cewek-cewek sini tuh luarannya aja modern, dalamnya sih sama-sama aja. Konvensional. Belum apa-apa udah ngomongin kawinlah, tunanganlah, padahal gue belum siap ke arah sana. Gue maunya traveling dulu, lihat dunia dulu…”

Pintu kafe tahu-tahu terbuka. Suara hak sepatu perempuan terdengar melangkah mantap. Mataku mengamati sekeliling. Semua mata pria tersedot ke arah pintu. Pasti…

“Che!”

“Hai, Starla. Sendirian?” sapaku sambil menghela napas panjang. Perasaanku tidak enak. “Kenalin…”

“Rako.”

Rako sudah berdiri dan mengulurkan tangan tanpa diminta. Saat tangan mereka bersalaman, mata bereka beradu, aku menyadari sesuatu. Musibah besar akan terjadi.

Part 2

Keesokan harinya Rako meneleponku, menghabiskan waktu makan siangku yang berharga dengan percakapan konyol mengenai Starla. Dia ingin mendengarkanku bercerita apa saja, bahkan asal usul gelang kecil di kaki Starla.

“Eh, bro, rencana kita gimana? Weekend ini jadi diving, ya?” tanyaku, berusaha membelokkan arah percakapan.

“Ditunda dulu, deh. Gue keburu janjian sama Starla.”

Entah bagaimana, saat itu aku tahu semua rencana kami bakal amblas. “Minggu depan?” tanyaku lagi.

“Kita lihat dulu, ya. Santai, Che. Gue kan sebulan di Jakarta.”

CHE? Starla keparat.

***

Intuisiku sungguh jitu. Minggu ketiga dari kunjungan sebulannya di Jakarta, tak satu pun rencana jalan-jalanku dengan Rako terwujud. Hari-harinya dipenuhi oleh Starla seorang.

“Che, gue mau ngenalin Starla ke bokap-nyokap. Doain, ya,” tutur Rako satu hari. Matanya bersinar. Dan dia memanggilku “Che” dengan fasihnya, seolah sudah melakukannya puluhan tahun.

“Lo yakin? Nggak kecepetan?” tanyaku.

“Starla adalah perempuan yang selama ini gue cari. Lo tahu sendiri, gue gerah banget sama yang namanya komitmen. Tapi dia… lain, Che.”

“Yah, dia memang lain,” celetukku getir, “Starla cuma hidup di hari ini. Nggak di hari kemarin, dan nggak juga di hari esok. Jangan bikin rencana futuristik apa pun dengan Starla. Bahaya.”

Tapi Rako tidak mau dengar. Tidak pernah ada yang mau.

***

Kutatap Starla yang melambaikan tangan dari kejauhan. Terlintas analogiku tentang segelas air gula penutup ritual jamu pahit; keseimbangan persahabatanku dengan Starla. Baru kali ini aku berani mempertaruhkannya.

“Tumben, Che. Kayaknya penting banget sampai ngajak ketemuan segala,” sambut Starla.

“Rako.” Aku tidak berbasa-basi. “Jangan dia, Star.”

“Maksud kamu?”

“Kita tahu sama tahu modus operandimu. Nggak lama lagi, dia bakal ngajak kamu serius. Dan segampang itu kamu bakal buang badan. Ya, kan?” tudingku. “Dia sahabatku dari kecil. Aku kenal baik Rako, dan aku tahu sehancur apa dia nanti. Please. Sudahi ini semua. Bilang aja terus terang kalo kamu nggak pernah niat serius.”

“Siapa bilang aku nggak serius?”

“Jadi kamu siap berkomitmen sama dia?”

“Kenapa serius harus dihubungkan dengan siap berkomitmen?”

“Udahlah, Star!” decakku kesal, “Apa sih arti seorang Rako buat kamu? Cuma satu dari seribu? Sementara buat dia, kamu itu seribu satu. Sekali ini, nggak usahlah ngasih harapan kosong lagi.”

Starla menatapku tajam. “Jadi, selama ini kamu pikir aku ngasih harapan kosong ke orang-orang? Aku nggak pernah ngasih apa-apa selain jadi diriku sendiri. Mereka kepengin serius atau enggak, itu urusan mereka dan urusanku. Rako bukan anak kecil, Che. Dia butuhsupporter, bukan babysitter.”

“Kadang-kadang… kamu itu…” gumamku, gusar dan gemas. Starla berganti pacar sama gampangnya dengan ganti kaus kaki, dan ketika sahabat terdekatku terancam menjadi kaus kaki, dia membalikkannya seolah-olah aku ini si paranoid yang tidak setia kawan.

“Kadang-kadang saya ini kenapa?” tantang Starla.

“Nggak tahu diri.” Aku berbalik meninggalkannya.

***

Minggu terakhir Rako di Indonesia. Dan malam-malam buta di hari Minggu, Rako mendatangiku kalap seolah ingin menyelamatkanku dari bencana kebakaran yang tak ada.

“Gue benar-benar nggak ngerti! Apa salah gue?” berondongnya.

Ternyata dialah yang sedang dirubung api, dan dianggapnya apartemenku ini Dinas Pemadam Kebakaran. Rako memang datang ke alamat yang tepat. Bagai cenayang yang mendapatkan penampakan di bola kristal, aku melihat jelas drama di balik ini semua.

“Pasti ada sesuatu yang entah lo bilang atau lo kasih yang membuat dia merasa terikat. Cincin? Lo mau menetap di Jakarta demi dia? Atau lo mau boyong dia ke Inggris?” tanyaku.

“Tiga-tiganya gue tawarin…” Rako tergagap.

“Fatal.”

Rako menyeka keringat dingin di dahinya. “Jadi… oke, oke… gue bakal datengin dia lagi, gue cabut semua yang gue bilang.”

“Terlambat.” Aku menggeleng. “Sekali langkah salah itu diambil, dia nggak akan pernah mau balik lagi.”

Rako bengong sejenak. Lalu ia pun berseru, panik, “Bisa! Pasti bisa! Gue yakin! Gue sama dia tuh udah cocok banget!”

Dengan berat aku kembali menggeleng. Gatal lidahku ingin berkata: Anda sudah diberi peringatan. Jangan bermain api. Starla itu C-4. Jangan karena namanya “bom plastik” maka Anda samakan dia dengan ember dan perabot plastik lainnya.

Selama berhari-hari, aku menghibur sahabatku itu. Berusaha mengembalikannya lagi pada kenyataan yang ada, bahwa nasibnya adalah bagian dari siklus nasib “Layang-layang Starla”. Rako tengah mengalami fase bernama “putus benang”. Satu-satunya solusi adalah, dia harus mampu bangun dari ilusi, keluar dari permainan. Kembali memijak tanah, melupakan Starla.

Namun bicara memang gampang. Sementara cinta luar biasa kompleks. Rako tak sanggup mengalahkan teori layang-layang. Ia memilih kembali ke Inggris, dan kembali memanggilku “Chris”.

Selama ini, hanya orang-orang tak kukenal yang menjadi korban Starla. Tidak pernah orang sedekat Rako. Untuk pertama kalinya aku mampu bersimpati, sekaligus berlega hati, karena aku tidak akan pernah mungkin mengalami itu semua.

***

Tak sampai seminggu dari tragedi Rako, teleponku kembali berdering, mengumandangkan suara Starla dengan intonasi ceria, seolah-olah tak pernah ada apa-apa.

“Che, aku mau cerita. Jadi gini, aku lagi dekat sama satu cowok…”

Ada rasa muak yang tahu-tahu menyeruak.

“Sebelum kamu cerita apa-apa, aku mau kasih tahu sesuatu…” potongku, “mulai sekarang, nggak ada lagi nge-burn CD. Nggak ada lagi cerita layang-layang.”

“Layang-layang—?”

“Urus diri kamu sendiri, Starla. Kamu butuh audiens, bukan teman.”

Ada hening yang menggerahkan sebelum telepon kami terputus. Starla yang menutup duluan.

***

Sudah lebih dari sebulan. Nama itu memang tak pernah muncul lagi di layar HP-ku. Rupanya Starla memilih untuk tidak perang terbuka. Begitu juga aku. Kami saling menghindari seperti menjauhi wabah penyakit.

Hari-hariku berjalan tanpa kejutan yang kerap dibuatnya. Pulang kantor, bergerak lamban dalam arus macet Jakarta, sampai di apartemenku yang sepi, mandi, menonton televisi, baca buku, lalu tertidur. Senyap. Lelap. Bunyi telepon.

Bunyi telepon?

Aku terlonjak kaget dari tidurku. Setengah satu malam?

“Halo…?”

“Che…”

Starla. Menangis. Kantukku seketika buyar. “Kamu kenapa? Ada di mana?”

“Di apartemenku. Tolong jemput, ya. Sekarang… tolong…” pintanya diselingi isak.

“Aku ke sana sekarang!” seruku, bergegas pergi.

Starla, perempuan tertangguh yang pernah kutahu, meneleponku ketakutan di tengah malam. Pasti ini kasus luar biasa.

Begitu sampai, kupencet bel sambil memanggil namanya. Pintu seketika terbuka. Starla menghambur memelukku, menangis tersedu-sedu.

“Kamu kenapa?” tanyaku bingung.

“Tadi… Andi… ke sini. Dia nyerang saya… dia psikopat, Che…” jelasnya di antara sedu-sedan.

Nama baru lagi. Aku menghela napas. “Kamu sudah lapor polisi?”

Starla menggeleng. “Tadi aku lawan dia. Terus dia kabur. Tapi aku nggak mau di sini dulu. Aku takut.” Perempuan tangguh ini mendadak bagai kucing kecil yang baru tercebur ke kolam, meringkuk tak berdaya.

Aku tak punya pilihan lain. Malam itu Starla menginap di apartemenku.

Dari kamar yang masih setengah terbuka, kudengar ia memanggil namaku. Terpaksa aku bangkit dari sofa, tempatku mengungsi malam ini, menghampiri Starla yang masih meringkuk seperti anak kucing, tenggelam dalam piyamaku yang kebesaran, bergulung dalam selimut yang naik sampai leher.

“Kamu aman di sini,” kataku pelan.

“Aku nggak bisa kayak begini lagi,” bisiknya. “Aku capek, Che. Makin lama mereka semua makin menyeramkan.”

Aku tidak bisa menebak pasti siapa “mereka” yang ia maksud. Tapi aku cukup yakin “mereka” itu berjenis kelamin laki-laki. Ingin kubilang, bahwa hadirnya manusia psikopat hanyalah masalah waktu dalam semesta seorang Starla, sebagaimana aku masih menanti pemunculan atlet sepak takraw, ilusionis, atau pawang ular. Namun aku memilih diam dan menepuk-nepuk punggung tangannya.

Starla tahu-tahu meraih tanganku ke dalam pelukannya. Memejamkan mata.

Entah berapa lama aku duduk tegak di situ. Sementara Starla tertidur pulas, seolah lenganku ini guling yang tak beraliran darah dan tak bakal semutan.

***

“Selamat pagi.” Suara Starla menyapaku lembut. Dengan manis, ia duduk di tepi sofa.

“Jam berapa sekarang?” Mataku memicing silau melihat sinar matahari yang masuk.

“Setengah delapan,” jawabnya dengan senyum.

“SETENGAH DELAPAN?” teriakku. Pantas matahari sudah ganas! Kalang-kabut aku menyiapkan baju dan lari ke kamar mandi. Starla sudah menyiapkan handuk, bahkan dia telah menyalakan air.

“Coba air dingin, pasti segar,” ucapnya sambil berlalu.

Bodohnya aku menurut saja. Tak lama kemudian, teriakan-teriakan membahana dari kamar mandi.

“Sarapan, yuk!” Terdengar lagi suara Starla yang sudah menunggu di meja makan.

Setibanya aku di meja makan, mataku membelalak. “Nasi goreng? Aku biasa sarapan roti, dua lapis, yang satu isinya…”

“Sudah, ah. Sekali-sekali,” potongnya tak sabar seraya menyendokkan nasi tanpa kompromi.

Kupandangi butir-butir nasi berkilau itu dengan enggan. Minyak di pagi hari. Bukan ide yang baik. Ragu, aku mencoba sesendok. Ternyata enak.

“Kamu kerja hari ini?” tanyaku.

Starla menggeleng. “Aku mau di sini dulu. Rasanya tenang banget. Boleh, kan?”

Ragu, aku mengangguk.

Selesai makan, aku berjalan ke pintu. Tidak mencabut kunci. Aku menoleh ke belakang, dan ada Starla berdiri dengan senyuman. Ini sungguh aneh, aku harus permisi pada seseorang.

“Hati-hati,” ucapku canggung. Hanya itu kata-kata yang terpikir.

***

Untuk menggenapi keganjilan hari ini, kuikuti usul sableng Starla untuk pulang lebih cepat. Dan anehnya lagi, aku merasa… senang. Senang berada di mobil sebelum waktunya. Senang berada di jalan sebelum jadwal orang bubar kantor. Saking senangnya, aku tak mendengarkan lagi kompilasiku. Aku hanya mengemudi, dan mengemudi.

Setibanya di apartemen, semilir aroma cokelat menyergap penciumanku.

“Brownies spesial untuk Che yang berani bolos dari kantor!” sambut Starla dengan seloyang brownies hangat.

“Kamu—masak?” Aku menganga.

“Ovenmu terlalu mengkilap, terpaksa deh kuperawanin,” jawabnya santai. “Kopi?”

“Satu kopi, dua gula, tiga krimer,” sahutku cepat.

“Kopi banci. Yang enak itu: satu kopi, satu gula, satu krimer.”

Lagi-lagi, aku menurut. Dan ternyata racikan Starla lebih enak. Kuseruput kopiku lalu melahap kue buatannya. Sementara itu, Starla mengamatiku saksama. Membuatku gerah. Wajahnya mendekat seperti sedang mengobservasi kelamin serangga.

“Kamu bukan gay, kan?” tanya Starla tiba-tiba, “karena kalau iya, aku pasti udah tahu.”

“Kita berteman empat tahun lebih, Starla. Keterlaluan kalau kamu masih nggak tahu preferensi seksualku.”

“Empat tahun lebih, tapi nggak pernah satu kali pun kamu kelihatan punya pacar. Mana yang lebih keterlaluan?”

Brownies ini enak.”

“Kamu tuh pintar, baik, karier bagus, tampang keren, tapi, kok?”

“Nggak kepikir jualan kue aja, Star?”

“Come on, Che. Apa yang kamu cari sih sebetulnya?”

Kali ini kunyahanku berhenti. Kutatap matanya langsung. “Kriteriaku kompleks. Oke?”

“Apa aja?” Starla malah semakin tertarik.

“Buat apa kamu tahu?”

“Siapa tahu aku bisa mencalonkan diri.”

Aku tergelak, “Starla, kalau memang benar aku ini pintar, keren, dan apa pun itu, nggak bakal kamu nunggu empat tahun untuk mencalonkan diri, tauk!”

“Soalnya, selama ini, aku selalu yakin kamu nggak pernah mau sama aku.” Starla menjawab tenang.

Gumpalan brownies di tenggorokanku rasanya seperti tumbuh duri. Belum pernah aku sebegini gugup berada di dekat Starla. Dalam hati, aku berdoa agar hari ini bisa kulewati dengan selamat.

Starla menatapku lekat-lekat, menunggu jawaban yang menggantung dibibirku, namun perlahan aku melihat ia menyunggingkan senyum, makin lama makin lebar dan akhirnya pecah jadi tawa. Starla tertawa sambil memukul-mukul meja, seolah-olah ia sedang melihat adegan paling konyol dalam film Mr Bean in Holiday.. Emosiku naik!

“Kamu pikir aku serius Che?”

“Dan kamu pikir ini lucu??”

“Dari skala 1- 10, wajah kaget tadi nilainya 9 Che, sumpah lucu banget” Kali ini Starla tertawa sambil menyeka air matanya. Selucu itukah?

“Kamu bener-bener harus coba MRI, jelas ada yang salah dengan otakmu”

“Tapi..kamu pikir aku serius? Kamu gugup kan?” Starla mendesak seperti anak kecil yang minta dibelikan permen.

“Nope, even..kamu the last women in the universe, itu impossible!!”.

“Kalau begitu aku boleh meragukan preferensi seksualmu donk?” Ia tersenyum nakal.

“Bagian mana dari kata-kataku tadi yang kurang jelas, Star? Aku normal, krtiteriaku hanya kompleks, itu saja oke? anyway..case closed” Aku meninggalkannya, mengambil kunci mobil, dan memutuskan tidak pulang malam ini.

***

Sudah dua bulan sejak waktu itu, dan Starla alpa dari HP ku, se-alpa-alpanya.. Rekor baru sejak 4 tahun persahabatan kami. Aku membuka laci meja dan mengeja lagi kata-kata yang ditinggalkan Starla sebelum ia pergi dari apartemenku malam itu:

“Kamu tau Che? yang paling aku takutkan dari semua pertengkaran kita adalah jika suatu hari kita terbangun dan berhenti dari semua romantisme persahabatan ini”

Ps: formula 1,1,1 itu enggak buruk kan?:)

Ada perasaan rindu yang menyergap, “Starla..aku rindu melangkah di duniamu” Mengetahui siapa kali ini laki-laki sial itu, sudah masanya kah kemunculan atlet sepak takraw? ilisionis? atau pawang ular? yang aku tunggu-tunggu sejak dulu? Starla..hubungi aku..kamu tau harga diriku terlalu mahal untuk sekedar mendial nomermu..

Bunyi telpon..

“Starla?” aku memekik,  suara diseberang balik bertanya “Starla???” dengan intonasi lebih tinggi yang jika aksarakan akan membentuk tiga buah tanda tanya.., rupanya klien..

Aku mengeja-ngeja hidup dalam 2 bulan terakhir: mandi, sarapan pagi, macet, kantor, macet lagi, apartemen, mandi, menonton televisi, baca buku dan tidur, lelap, sunyi, hening.. Bunyi sms.

Bunyi sms? Starla? Intuisiku tepat!

“Christian, check your email”

19 Nov. 2010 23:41

From: Starla

Christian??? Sejak kapan aku jadi Christian? Aku Che..ingat? Kamu selalu memanggilku begitu..

***

From: strala_w@yahoo.co.id
To            : el.christian@yahoo.com
Subject: (no subject)
When u left me that day…,
Something happened with my heart, somehow i feel… i really need you.. (it just came over me in a rush,  when i relize that you mean so much to me). You fill my soul with something i can’t explain..
You warm me up, you charmed me, you treat me with so much love and care, and i think.., what i feel about you is more than love, it is like…….unspeakable……..!
Aku serius Che, saat aku bilang “aku yakin kamu nggak pernah mau sama aku” Dan itu benar kan? Aku nggak ingin tertawa waktu itu, sumpah, tapi aku malu, sangat malu, sehingga yang bisa aku lakukan adalah pengalihan.. “teori atensi, remember?”
Kamu jahat Che, aku rasanya tidak seburuk itu, kamu memuji brownies buatanku, kamu suka kopi formula 1,1,1 yang aku buatkan untukmu, dan kamu rela bolos kerja dan pulang lebih awal karena aku minta, aku nggak seburuk itu kan che?
If i’re the last women in the universe, setidaknya aku punya peluang 10% untuk bersamamu, bukan begitu Che?
Aku berubah Che, tidak ada lagi modus operandi apapun, tidak ada lagi cerita tentang layang-layang putus, tidak akan pernah ada atlet takrawa, atau ilusionis yang kamu tunggu, apalagi pawang ular.. (?)
The last but not the least..
Aku rindu kita yang biasanya, Che..eh..Christian…

—————————————————————————————

To: starla_w@yahoo.co.id
From: el.christian@yahoo.com
Subject: [relpy]: (no subject)
Kamu tau Star?
“Aku selama ini bukan menerbangkan layang-layang, aku sedang menunggu layang-layang putus, dan kemudian mengejarnya..”
Sayang kamu sejak hari-hari yang tidak kamu ketahui…
Ps: Che..lebih bagus, kamu biasa memanggilku begitu kan? 🙂

Aku di findyourtruematch.com

Hmm…kemarin secara gak sengaja aku nemu link ini: http://findyourtruematch.com semacam lomba nulis yang diselenggarakan L’oreal Paris.. (intinya sih ini salah satu strategi marketing jenis baru, buat ngepromosiin produk mereka “find your true match”, kreatif ya?), hmm..lupakan sejenak tentang marketingnya, dan mari kita fokus ke lombanya, tugasnya sih gampang-gampang susah, ngelanjutin cerita yang ditulis oleh penulis tersohor sekaliber Dee Lestari, Raditya Dika, dan Fira Basuki. Seteleh ngebaca tulisan ketiganya, aku merasa jatuh hati sama Dee (sstt..diam-diam..aku uda ngefans dia dari dulu kok). Malanjutkan tulisan seorang Dee itu memiliki tantangan tersendiri, kenapa? mendadak ada gradasi disana, dari yang awalnya cerita Dee bagus banget, tiba2 pas kemasukan ceritaku kualitasnya jadi jelek heheh…  :p

Pede ajah…segala sesuatu itu patut di coba dan tidak dilewatkan begitu saja, bukankah kalau menang ini menjadi suatu tolak ukur tersendiri? bahwa seorang Dee (misalnya) mengakui tulisanku 🙂 yihaa….seneng banget pasti nya.. Lagipula ini suatu bentuk aktualisasi diri dalam bidang yang berbeda 😀

Hmm..untuk tulisannya aku publish di kategori “Celoteh Cerpen” ya.. yang penasaran, silahkan kesana, dan please…kasi masukan yang membangun.. 🙂

Kilat! The Flash Fiction Challenge

Tulisan ini aku ikutkan dalam lomba Flash Fiction Challenge, gak sampe menang sih,,, tapi alhamdulillah sempat masuk 20 besar.. Suatu kebanggaan tersendiri:)

janji-matahari-12

By celotehque, on September 15th, 2010

“Kau mau jadi sahabatku?
“Menurutku laki-laki dan perempuan tidak akan pernah bisa bersahabat”

“Mengapa kau berpikir demikian?”
“Karena menurutku kebersamaan akan membawa mereka pada cinta bukan persahabatan, kau tau itu?”

Bagaimana kalau aku bisa membuktikan pada mu bahwa aku mampu menjadi sahabatmu terbaikmu?”
“Mengapa kau ingin jadi sahabatku?”

“Kau terlihat putus asa dan selalu menyendiri, aku hanya berpikir kau mungkin butuh teman..”
“Kau salah, aku punya banyak teman, tapi tidak sahabat”

“Baiklah, kalau begitu aku akan menjadai sahabat pertamamu”
“Kau yakin? Orang-orang itu mudah sekali jatuh cinta padaku, dan aku sudah muak, mereka mendekatiku dengan kedok bertajuk –ingin mengenalku lebih dekat sebagai sahabat, kemudian berujung pada pernyataan cinta” sungguh aku muak!-”

“Akan ku buktikan, aku berbeda dari orang-orang itu”
Ucapku sambil mengulurkan tangan dan kau pun menyambut dengan hangat, sehangat mentari pagi.

Sudah 8 tahun sejak percakapan waktu itu di gedung belakang sekolah,
Dan hanya butuh 2 bulan lebih 5 hari untuk benar-benar jatuh cinta padanya,
bukan parasnya yang menjeratku begitu dalam, tapi kehangatan hatinya,
Dan adakah alasan untuk berhenti ketika kebaikan hati itu tidak pernah pudar?? Ada!
Janji itu!

Sementara ia begitu menikmati perannya sebagai sahabatku,
Disini aku terseok-seok, memainkan peranku sebagai sahabat pertama sekaligus sahabat terabaik yang pernah ia miliki..
Dan sekali lagi adakah alasan untuk menyerah, ketika yang aku cintai adalah kehangatan hatinya, sementara kebaikan hati itu tidak pernah pudar? Ada!
Janji itu!

Sekali waktu ketika cinta mebuncah dengan hebatnya,
Dan logika tak kuasa membendung,
pernah kutuliskan ini padanya:
“Huh! Matahari….sinarnya menghangatkan siapa saja, hingga membakar kelopak bunga yang ini, begitupun matahari tetap saja bersinar tanpa mau tahu, bahwa sesekali bunga juga butuh hujan”

Dia tidak membalasnya, hanya berkelakar sambil menepuk pundak ku dan berkata
“Kau puitis juga!” Aku tersenyum miris membelakangi wajahnya..

Dan hari ini ketika aku membuka undangan pernikahannya, aku menemukan secarik kertas bertuliskan:
“Untuk: Frans (sahabat terbaikku),
Matahari tidak sebodoh itu!
Sungguh matahari tau, karena mataharipun merasa tidak berarti tanpa kehadiran bunga.
Hanya saja…..wanita tidak mungkin menjilat ludahnya sendiri, itu saja.

Ps: Apa sekarang kau percaya bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa bersahabat?”
-Your Best friend,Titan Helia-

Teman Seperjalanan

Aku baru saja terjatuh waktu itu, saat kita tak sengaja bertemu dalam perjalanan ini…

Kita duduk dibangku yang berbeda..

Diam-diam dari kejauhan kau memperhatikanku, aku sadar, tapi pura-pura tidak tahu atauuu tidak ingin menyadarinya barangkali? Entahlah..

Pelan-pelan kau menghampiriku..

Kau mengulurkan tanganmu, sembari memberikan senyuman terbaikmu..

Aku membiarkan tanganmu bergantung lama, lama sekali…….

Gurat ketakutan dan keragu-raguan tampak jelas di wajahku..

Kau orang asing!! itu pikirku saat itu..

Aku memasang kuda-kuda, aku memalingkan wajahku, aku..merasa tidak ingin mengenalmu…

Tapi kau tidak kehilangan akal, kau tanyakan tujuan perjalananku (yang kebetulan sama denganmu), kemudian kau ceritakan pengalaman perjalananmu, dan kau berhasil membuatku tersenyum untuk pertama kalinya sejak perjalanan kita… kemudian kedua kalinya, kemudian ketiga kalinya sampai tak terhitung kemudian…

Ketika perjalanan kita semakin jauh, dan hari itu hujan bukan main lebatnya…

Aku khawatir kalau-kalau kau kedinginan,

Aku meminjamkan jaketku,

tapi kau malah menawarkan aku secangkir kopi hangat dan selembar selimut..

Aku bergumam, “wah..kau baik sekali…”

Sambil menunggu reda, kau ceritakan masa lalumu tentang hujan yang membekaskan kesedihan..

Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba menyelami perasaanmu saat itu, dan berharap hujanmu denganku tidak akan membekaskan kesedihan… (?)

Ketika perjalanan kita tidak mulus, jalan amat berbatu waktu itu..

Aku bilang padamu “hati-hati” sambil memberikan tongkat

tapi ternyata aku tersandung, jatuh tepat di depanmu..

Aku pikir setidaknya kau akan menertawai kebodohanku..

Tapi,

Dalam sepersekian detik kau menempelkan perban di lututku,

sembari berkata “hei..kan ada aku, kok bisa jatuh?”

Wajahku memerah antara malu dan bahagia..

Ketika perjalanan kita akhirnya bertemu musim semi

Aku tanyakan tentang musim semi yang paling berkesan bagimu..

Dan kau mulai bercerita tentang hari-hari yang kau lalui bersama orang-orang terkasih..

Tentang betapa kau sangat menyayangi mereka,

Tentang harapan-harapan mereka kepadamu,

Tentang seberapa besar arti mereka bagimu,

Aku menangkap sayang, hormat, kepatuhan dan ketulusan disana

Kau luar biasa sekali..

Dan tanpa sadar aku menganggap orang-orang itu menjadi orang-orang yang penting juga bagiku..

Di sebuah perhentian,

Ketika perjalanan kita sudah luar biasa jauhnya,

Dan aku merasa amat sangat letih…

Aku baru menyadari satu hal…..

“Kau tidak pernah bertanya apapun tentangku”

Ya,.tidak pernah.. Kecuali tentang tujuan perjalananku di awal perkenalan kita,

dan seingatku itu sudah lama sekali sejak cerita-ceritamu kemudian…

Aku menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya, menarik lagi dan menghembuskannya lagi ke udara, ia-nya menguap sia-sia..

Aku diam sejenak, mengumpulkan segenap keberanian,

Dan akhirnya bertanya “Apa arti perjalanan kita sejauh ini bagimu?”

Lama kau terdiam…cukup lama…hmm…bahkan sangat lama untuk sebuah jawaban yang aku kira mudah.. karena letaknya di hatimu.. bukan dimana-mana…

Jawabmu pada akhirnya:

“Kau..adalah teman seperjalanan paling menyenangkan di dunia yang pernah aku temui, kau meminjamkanku jaket dan tongkat, dan aku memberimu kopi dan selimut, bukankah kita rekan seperjalanan yang sangat serasi? Huff.. entah apa jadinya bila tanpa jaket dan tongkat mu itu, kau baik sekali. Mari kita lanjutkan perjalanan ini”

Aku mengelap peluh, menatap tanah, dan amat takut menengadah..

“.aku lelah, kau jalan saja duluan, dan tinggalkan aku disini” kataku kemudian.

Kau terlihat keberatan dan enggan, wajahmu menyiratkan kau masih ingin melanjutkan perjalanan ini denganku, mungkin karena aku adalah teman seperjalanan paling menyenangkan di dunia seperti kata mu (trimakasih, tapi aku tidak tersanjung, karena bukan ini yang ingin kudengar dari mu)

Kau berkata kemudian: “Bagaimana jika ditengah perjalanan aku butuh jaket dan tongkat sementara kau tidak ada disampingku???”

Aku berdiri, memberikanmu tongkat serta jaketku, menjabat tanganmu dengan senyuman terbaik ku dan mengucapkan “Selamat Jalan”